Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Siasat Sang Pecundang

Kita tinggalkan malam di Mandaraka. Ditempat yang lain, Aswatama dengan kebulatan tekad telah memasuki Taman Kadilengeng di lepas sore itu. Dan di taman itu, Dewi Banuwati tengah duduk didampingi oleh para dayang dayang-nya.  Mereka dengan setia memberikan bermacam hiburan yang ditujukan agar junjungannya dapat melupakan kemelut yang sedang menyelubungi negaranya. Ketika Aswatama masuk ke Taman Kadilengeng, suasana hingar bingar mendadak terhenti. Hampir semua mata menuju kearah kedatangan Aswatama. Semua menerka nerka, pasti ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan oleh sang tamu. Sosok tamu yang semua sudah mengenalnya sebagai anak Pedanyang Sokalima, anak dari Sang Pujangga Astina.

Begitu pula dengan Dewi Banuwati, yang memendam seribu tanya. Ada apakah gerangan berita yang dibawa dari peperangan. Dalam suasana perang yang sudah berhari hari berlangsung, maka pastilah kejadian demi kejadian akan cepat berganti waktu demi waktu dan segala kemapanan pasti goyah  dengan cepat. Tidak menunggu lama, diperintahkan oleh Dewi Banuwati para dayang dayang-nya untuk segera menjauh darinya. Berita mengenai segala perubahan di peperangan hendak ia bicarakan empat mata saja dengan Aswatama.

Sembah bakti Aswatama telah dihaturkan. Basa basi telah diucapkan oleh keduanya. Bagi Aswatama, kebiasaan pada waktu waktu yang telah lampau, tetap ia lakukan demi siasat yang hendak ia jalankan. Kebiasaan yang masih berlaku hormat kepada istri Prabu Duryudana.  Walau dalam hatinya ia mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjadi abdi negara Astina, tetapi pesona kecantikan Sang Dewi masih membuat dirinya juga tak berdaya dihadapan Banuwati.

Pada masa lalu, kekagumannya kepada kecantikan Banowati dipendamnya dalam-dalam. Karena dalam pikirannya, tidak sepantasnyalah ia mengagumi kecantikan dari junjungannya. Padahal dalam hatinya yang paling dalam, senyum Banuwati telah lama mengguncangkan hatinya. Setiap kali ia menyaksikan kemanjaan sikap dari Banuwati, ketidak berdayaannya atas keinginannya untuk memiliki Sang Dewi semakin menindih perasaannya. Tidak pantaslah juga, ia mengidam idamkan Banuwati yang cantik, Banuwati yang manja, Banuwati yang sorot matanya menyinarkan pesona bagi siapa saja yang menapnya. Tapi bagi Aswatama, tidak ada keberanian baginya untuk menatap mata itu. Ketika itu, keberaniannya hanya sebatas memandang pesona itu dari sudut matanya saja.

Tetapi saat ini sekuat tenaga ia hendak meruntuhkan tabu tabu atas masa lalu. Dan pada saat yang dipandang tepat nanti, ia ingin mereguk dengan segenap isi jiwanya, pesona yang terpancar dari sosok seorang Banuwati.

“Aswatama, apakah perang sudah usai?”  Itulah yang setiap kali diucapkan Sang Dewi ketika ada seseorang yang kembali dari peperangan. Kembali pertanyaan itu diucapkan. Aswatama dengan getar di dadanya mendengarkan ucapan dari bibir merah Banuwati masih dengan angan angannya. Sangat jarang Aswatama berhadapan langsung dengan Sang Dewi, bisa dikatakan tak lebih dari hitungan jari sebelah tangannya. Maklumlah jabatan yang ia sandang tidak memungkinkan sering bertemu, walau ia sudah berada di istana sejak dari muda. Pertanyaan Banuwati dengan nada yang kenes, sesuai sifat dasarnya, membuat runtuh jantung Aswatama yang berdentang keras. Begitu kuat ternyata pesona yang terpancar dari sosok Banuwati dari dekat. Hal inilah yang membuat kata-kata yang disusun sebelumnya, menjadi berantakan tak karuan.

Tetapi gugupnya Aswatama dimata Dewi Banuwati dartikan lain. Dimatanya, kegugupan itu mengisyaratkan telah terjadi sesuatu hal dalam peperangan yang menentukan yang  kehidupan negara selanjutnya. Dan Aswatama merasakan kesan yang memancar dari mata Banuwati itu. Maka timbullah keberaniannya untuk segera melakukan tindakan yang semula dirancangnya. Kembali ia dikejutkan dengan pertanyaan Banuwati mengulang.

Serta merta Aswatama menjawab, setelah terkaget dengan ulangan pertanyaan itu.

Memang ada yang hamba akan laporkan Sang Dewi, mengenai kejadian penting di palagan peperangan.”

“Cepat katakan, Aswatama! “ Tak sabar Banuwati segera menyahut.

“Apakah Paduka Ratu berkenan  dengan apa yang hendak hamba katakan?”.


“Ya ya. . .  segera katakanlah.”


“Saat sekarang kekuatan Kurawa sudah dapat dikatakan lumpuh, dan tinggal menunggu saat saat terakhir perlawanan. Maka Baginda Prabu Duryudana memerintahkan kepada hamba untuk membawa Paduka Sang Dewi, keluar dari taman Kadelengeng”.


Oooh begitukah? Biarkan saja aku tetap di Keputren ini. Tak akan ada sesuatu yang membuat aku khawatir akan keselamatan diriku. Datar saja ucapan Dewi Banuwati, tak ada sedikitpun kecemasan membayang di wajahnya oleh sebab dari berita yang disampaikan Aswatama. Berita kekalahan Kurawa, sepertinya adalah hanya merupakan masalah kecil baginya. Aswatama hanya mengangguk anggukkan kepalanya, dan ia tidak terlalu heran dengan sikap Banuwati.
Sejenak Aswatama terdiam, kemudian otaknya kembali bekerja. Katanya kemudian.

“Tetapi ini adalah perintah dari Gusti Prabu Duryudana. Hamba akan bersalah bila tidak menjalankan titah yang telah digariskan”.

“Kembalilah ke Kurusetra. Katakan kepada kanda Prabu. Bahwa tak perlu ada yang dikhawatirkan tentang keselamatanku. Musuh Kurawa pada perang Baratayuda adalah para Pandawa. Mereka itu adalah para kesatria yang tahu bagaimana memperlakukan musuh, mereka  tak akan mungkin mencelakakan aku. Apalagi sifat dimas . . . . “ Terhenti ucapan yang sudah ada dikerongkongannya dan segera ditelan kembali. Dan warna merah dadu menghiasi wajah Sang Dewi atas ketelanjurannya, walau terputus. Namun Aswatama segera tahu apa yang hendak Banuwati ucapkan. Dan ini telah membuat otak Aswama seketika terang benderang

“Tetapi perkenankan hamba berterus terang.  Gusti Prabu Duryudana sudah berada di suatu tempat. Mereka sudah menunggu jemputan ini. Disana sudah menunggu pula ayahnda Paduka Prabu Salya beserta Para Pandawa. Atas kehendak ayahanda Paduka Sang Dewi,  perdamaian diantara yang sedang berperang hendak diselenggarakan. Dan diperkenankan Gusti Ratu sebagai saksi atas perdamaian itu.  Dari pihak Kurawa akan langsung dipimpin oleh Gusti Prabu Duryudana, sedangkan dari Pihak Pandawa akan dipimpin oleh Raden Arjuna.”  Sengaja Aswatama menyebut nama Arjuna untuk memancing kenangan terhadap kekasih gelapnya.

“Ah . . .”, Banuwati berdesah, senyum dibibirnya hampir saja terkembang, tetapi segera dipalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya. Dari sudut matanya, Aswatama mencuri pandang terhadap raut muka Sang Dewi Banuwati yang dengan susah payah hendak menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dihatinya. Namun senyum sekilas tadi telah mengembangkan sejuta asa di hati Aswatama. Dalam hatinya mengatakan, “Inilah saatnya!” .
Sejenak hening disekitar mereka. Aswatama membiarkan saja perasaan Banuwati melayang layang. Namun Aswatama sudah tahu, apa pikiran yang membayang di rongga kepala Banuwati.

Tetapi tak lama suasana itu hening itu berlangsung, kemudian Banuwati memecahkan kesunyian.

“Bila begitu yang akan terjadi, apapun yang menurut rama Prabu Salya lakukan, hendaknya dilakukan. Tetapi yang aku sesalkan, kenapa baru sekarang kanda Prabu hendak berdamai setelah kekalahan nampak dipelupuk matanya. Perdamaian yang sebelumnya  telah membawa banyak korban!” Sejenak Dewi Banowati terdiam, kemudian ia menyambung.  “Tetapi baiklah, Aswatama, kapan kita hendak berangkat?”


“Sinuwun Prabu Duryudana tidak mau membuang-buang waktu lagi. Malam ini juga hamba dititahkan untuk segera mengantarkan Kusuma Dewi ke hadapannya”. Jawab Aswatama setelah menarik napas panjang. Kelegaan memenuhi dadanya, setelah sekian lama merasa  tertindih beban yang begitu berat.

“Kita perlu pengawal untuk perjalanan malam ini Aswatama!”

“Tidak perlu Gusti Ratu, ini akan memperlambat perjalanan kita. Sedangkan malam terus berjalan dan akan semakin larut bila waktu dibuang untuk mempersiapkan segala sesuatu. Toh kita besok sudah kembali lagi ke Astina”. Berpikir tangkas Aswatama segera menolak usul yang disampaikan Dewi Banuwati.

“Baiklah Aswatama, kita pergi sekarang!”.

Maka dengan persiapan singkat, Dewi Banuwati berganti busana dan segera menaiki kuda. Dan Aswatama menaiki kudanya pula. Tak kecurigaan apapun ketika mereka melewati penjagaan demi penjagaan, pengawalan terakhirpun  telah melepasnya. Dan tak terasa malam makin merambat dan perjalanan mereka semakin cepat.

Batas negara telah terlewat dan sawah kemudian ladang pegagan sudah mereka lalui. Hujan yang turun sore tadi telah lama reda,langit hanya menyisakan awan bergumpal di sana sini. Namun sebagian, masih menampakkan bintang bintang yang berkelipan malu malu. Kemudian tibalah mereka di padang perdu dan kemudian hutan dengan tumbuhan kayu besar yang makin pepat. Dan malam semakin merambat larut, sementara perjalanan terus berlanjut.

“Aswatama, apakah tempat itu masih jauh?” tanya Banuwati yang merasa curiga dengan perjalanan malam yang seperti tak berujung.

“Tinggal beberapa yojanya kita akan sampai?” Aswatama berkilah

“Benarkah? Aku lihat kita malah berputar putar arah tidak karuan bahkan kita memasuki hutan dan jurang yang curam di kanan kiri kita!” tanya Banuwati ketika sampai pada tempat yang lapang ditumbuhi beberapa pohon pohon perdu ditepi jurang.

“Mhmm . . . , baiklah! Sekarang aku tidak lagi hendak menyembunyikan apa sejatinya yang kulakukan terhadapmu”. Sejenak Dewi Banuwati bagai terhenti jantungnya. Ia mendengar ucapan Aswatama yang bernada lain dari biasanya. Tetapi sekuat tenaga ditenangkan hatinya. Doa akan keselamatannya ia panjatkan untuk mengatasi kejadian yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Dilain pihak, Aswatama  yang sudah sekian lama bersikap hormat sebagai anak Pedanyangan, ketika mengabdi pada Prabu Duryudana, kini berusaha bersikap tegak. Secara naluri Banuwati menjauhkan kudanya dari kuda tunggangan Aswatama.

Aswatama turun dari kudanya dan menambatkan di sebatang pohon. “Tempat yang agak lapang ini memungkinkan aku berterus terang terhadap Banuwati.”, demikian pikirnya dengan debar dada yang masih bergemuruh. Tetapi setelah diingat bahwa ia hanya berdua saja dengan Banuwati, dan apalah artinya wanita tanpa pendamping dihadapan lelaki yang terkodrat lebih kuat. Maka jebol-lah keraguan yang semula melimputi dirinya. Dipandangnya Banuwati dari ujung rambut hinggga ke ujung kaki dengan mata nyalang. Senyum aneh tersungging di bibir Aswatama bagai orang yang mabuk tuak.

Banuwati yang dipandang seperti itu merasa risih, dan ketakutan mulai membayang diwajahnya. Kembali hatinya dibesarkan, walau degup jantungnya masih juga tidak hendak reda. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia menanya, dengan tetap duduk diatas punggung kuda.

“Sekarang katakan apa sebenarnya yang kamu kehendaki, Aswatama?” bergetar bibir Banuwati menanyakan maksud Aswatama. Padahal sebenarnya pertanyaan itu telah diketahui jawabnya. Namun ia masih menunggu jawab Aswatama yang masih dengan senyum kemenangan dibibirnya. Kemudian dilihatnya Aswatama berdiri didepan kuda, dan berkata dengan dada tengadah.

“Didunia ini tidak genap dua hitungan jumlah perempuan yang memiliki pesona yang begitu hebat. Pesona yang kamu miliki itu! Raja Astina yang begitu agung-pun bertekuk lutut. Menurut apa yang kamu perintahkan dengan tidak ada suatu katapun yang bernada menentang. Bahkan suatu contoh, bila keinginanmu untuk ketemu Arjuna tidak diturut, hanya sedikit kata rayuan dan seribu alasan, permintaan itu akhirnya dikabulkan. Benar benar Prabu Duryudana bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Dan pesona dari dirimu tidak urung telah menebar keseluruh lingkunganmu. Pesonamu juga telah menyusup menembus dalam dijantungku. Setiap dirimu lewat didekatku, terasa dadaku hendak pecah. Ya, terus terang saja! Sudah lama aku memendam perasaan ini  terhadapmu, Banuwati. Perasaan cinta yang tadinya hampir tak mungkin kesampaian karena aku dulu mengabdi kepada Prabu Duryudana! Dan sekarang, Duryudana ada dalam keadaan sekarat. Daripada keduluan yang lain, terimalah takdirmu bahwa Aswatama adalah pemilik yang sah dari Banuwati untuk selanjutnya he he he . . . . !  Masih dengan ketawanya, Aswatama mendekat dan memandang dengan nyalang sosok Banuwati yang tertegun duduk diatas kuda. Tanpa berkedip, di kegelapan yang hanya tersinari bintang, sosok siluet Banuwati dikeremangan itu makin mempesona dimata anak Pedanyangan yang dimabuk keberhasilan itu. Hilang kewaspadaannya, dan tidak terpikir bahwa suatu saat, kuda itu dapat dilecut hingga lari dan tak dapat dikejar.

Sementara di dalam otak Banuwati berputar mencari celah untuk dapat melarikan diri. Tanpa sesadarnya kuda diarahkan mundur kembali menjauhi Aswatama yang  selalu mengikuti langkah kemana saja kuda Banuwati bergerak.

Banuwati yang lambat laun bisa menguasai dirinya, kemudian berusaha tersenyum. Ia sudah dapat melihat dengan jelas, langkah apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang menjepit dirinya.

“Ooh . . . begitukah? Siapapun, termasuk kamu dapat saja menjadi suamiku bila ia memiliki kecekatan berpikir. Dan gerak cepatmu telah membawamu untuk memboyong aku kemana kamu suka. Bawalah aku ke Timpuru atau ke Atasangin, kesanalah kita akan mukti wibawa meneruskan kejayaan Astina! Lihat bintang bintang dilangit adalah saksinya!”


Sang Dewi mengatakan sambil menunjuk ke langit dimana bintang-bintang masih bergelayutan.

Tanpa sadar bagai tersihir, Aswatama juga ikut mendongak ke langit. Dan saat yang sedikit itu digunakan dengan sempurna oleh Banuwati. Secepat kilat ditariknya kendali dan dipacu kuda itu tanpa menoleh kanan kiri. Kaget setengah mati Aswatama dan terlanggar kuda Banuwati. Bergulingan ia menahan sakit didadanya, dan merah padam mukanya oleh perasaan marah yang tidak terkirakan. Segera ia menuju kearah kudanya dengan tertatih tatih, dilepaskan ikatannya dengan terburu buru. Sumpah serapah membuncah dari mulutnya. Terlambat sedikit, kuda yang ditunggangi Banowati telah menghilang dikelebatan hutan dan pekatnya malam. Derap kaki kuda yang bergulung gulung menggema diantara tebing telah memperlambat usaha Aswatama dalam menelusuri jejak Banuwati. Sementara kabut telah turun setelah malam menjadi dingin menjelang pagi. Sempurnalah kesulitan Aswatama dalam melacak jejak buruannya.

Dewi Banuwati yang terlepas dari tangan Aswatama ternyata tidak mahir mengendalikan kudanya. Terpental pental ia diatas punggung kuda yang menjadi liar menyelusup diantara pepatnya pepohonan  hutan. Walau sekuat tenaga Banuwati bergayut, namun tetap ia tak berhasil menguasai keseimbangan badan diatas pelana. Ia terhempas dan terperosok ke dalam kelebatan perdu yang tumbuh menyebar ditebing jurang.

Seri Lengkap Bharatayuda, masuk SINI.

Posting Komentar untuk "Siasat Sang Pecundang"